Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

ESAI | SETELAH TIGAPULUH DUA TAHUN | Hari pertama masuk sekolah | kabarss

Kenangan masa lalu kabarss


CERITA
- Setelah tigapuluh dua tahun berlalu, hari ini aku kembali menginjakkan kaki disini, Tanah yang telah beribu-ribu kali menyimpan jejak langkah kecilku, Terlalu banyak kenangan tersimpan dan terekam dalam memori, pahit ,sedih ,bahagia dan entah apalagi.

Ada beberapa yang berubah lebih bagus tetapi ada juga yang masih tetap sama dan termakan usia. Gedung itu, pohon itu, lorong itu ... masih tetap sama. 

Aku mengangkat telapak kaki, mencoba kembali menapaki dan menyusuri jalan yang pernah aku lalui. Menikmati debu dan rumput yang merunduk. Masih berembun. 

Sepagi ini sengaja aku datang kembali setelah tigapuluh dua tahun. Disaat anak-anak datang dengan tawa ceria serta langkah kecilnya. Sepagi ini aku ingin menguak kenangan itu, tentang mimpi yang telah menjadi nyata.

Di sudut gedung aku berdiri. Disini, dulu aku sering menghabiskan waktu untuk melihat teman-teman berlari membawa bola, saling mengoper dan tertawa. 

Tapi tidak dengan aku. Mereka, teman-teman kecilku tidak pernah mau mengajak aku bermain bersama. Mereka bilang "anak miskin jangan diajak!". Menyebalkan!. 

Kembali melangkah menuju  jendela ruang belajar dimana aku lebih sering duduk sendiri di pojok kelas. Tidak ada teman yang mau duduk denganku. 

baca juga : NOVEL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PART 18

Jarang sekali mendapat kesempatan untuk ditanya apalagi disebut pintar. Atau mungkin aku memang tidak pintar? Seingatku hanya beberapa nama yang sering disebut dan di puji-puji ... selebihnya biasa saja. Aku sama sekali tidak istimewa.

Tidak ada kesan manis yang hinggap di kepalaku ketika di dalam ruang itu dan ruang-ruang lainnya. Entahlah, semuanya berlalu sewajarnya dan begitu-begitu saja.

Mata ini menyapu sekeliling, lalu hinggap di titik yang membuat jantung ini berdetak lebih cepat. Aku menarik nafas pendek. Mataku mulai basah. Perlahan aku melangkahkan kaki ini, sama seperti awal aku datang kesini. 

Kantin kecil di pojok sekolah. Masih ada walau dengan bentuk yang berbeda.

Dulu, anak tidak punya dan kadang tidak mendapat uang jajan sesekali berdiri disini. Penjaga sekolah yang baik hati selalu bertanya "sudah sarapan?" "Dapat uang jajan gak?" Dan aku dengan polosnya menggelengkan kepala. 

Dengan senyumnya yang ramah ia menyodorkan satu piring nasi uduk hangat. "Sarapan dulu, biar belajarnya semangat dan jadi anak pintar," tangan kecilku meraih piring dan menikmati sarapan pagi. 

Kata-katanya begitu lembut dan terngiang di telingaku ... hingga saat ini.

Entahlah, dari sekian sosok yang ada di sekolah ini ... dia yang selalu berada di kepalaku. Bukan karena nasi gratis tetapi yang aku rasakan adalah tulus dan perhatiannya.

Ketika aku merasa diabaikan, tidak diajak bermain ... dia selalu berkata "anak lelaki gak boleh cengeng, harus kuat biar jadi hebat!"

Hari ini, setelah tigapuluh dua tahun yang lalu ... aku sengaja kembali kesini. Menyusuri memori dengan waktu yang telah berubah beribu-ribu hari. 

"Selamat pagi, bapak ... maaf, bapak yang punya mobil warna hitam? Mobilnya bisa dipindahkan, pa ... menghalangi jalan masuk." Suara lembut itu membuyarkan lamunanku.

"Oh ... iya ... iya, akan saya pindahkan." Bergegas aku kembalikan badan setelah sebelumnya membalas senyum dari seseorang berseragam dinas. Mungkin dia seorang guru di sekolah ini.

Tapi aku mengurungkan langkahku dan membalikkan kembali badanku. kali ini tatapan mataku lurus dengan bola matanya.

"Mmmm ... bapak guru di sekolah ini?" Tanyaku spontan.

baca juga : KISAH MISTERI PESUGIHAN TUYUL

"Betul, pak. Saya guru  di sekolah ini.  Kalau boleh tahu, bapak siapa ya?"  Tanyanya dengan dahi berkerut. 

"Saya alumnus sekolah ini. Oh iya, boleh saya tanya sesuatu  ... mmm ... penjaga sekolah ini masih pa Kabul?" Tanyaku pelan.

"Oh, sekarang penjaga sekolah disini sekarang mang Jajang, Pak. Anaknya pa kabul. pak Kabul sekarang sudah berhenti, sakit-sakitan."

Aku terdiam sejenak. 

"Sekarang  pak  Kabul tinggal dimana?"  Kataku lagi. 

"Di belakang sekolah, pak." Jawab pak Lukman ... aku tahu dia bernama Lukman dari name tag yang terpasang di atas saku seragamnya.

"Oke, terima kasih ya, saya mau parkirkan mobil ke tempat yang aman dulu." Aku menyalaminya dan bergegas pergi menuju mobil hitam metalik.

Dalam hati kecilku "Bukankah ini waktu yang tepat setelah tigapuluh dua tahun berlalu? Dia penyemangat, penasihat, yang sangat mengerti aku. Dia yang secara tidak langsung penyambung doa-doa kebaikan untuk aku hingga aku bisa menjadi seperti saat ini.

Disaat yang lain tidak terlalu peduli dia dengan tulus memberikan senyumnya, dia ... dia ... dia yang aku tuju puluhan kilo meter jauhnya dan akhirnya akan bertatap mata.

Aku berhenti di depan mobil, mengambil alat medis yang biasa aku gunakan ketika praktek. Menghela nafas untuk yang kesekian kali.

"Mang Kabul, hari ini aku datang khusus untukmu."

baca juga : catatat hati, semua tak lagi sama


Rdk-19/07/22